Minggu, 28 Februari 2010

Ruang Tak Terprediksikan

Setelah negosiasi dengan ibuku selesai, aku segera berangkat.Yah! berangkat bekerja, menggantikan posisi ibuku sebagai juru tunggu klinik dokter umum. Memang tak jauh sih dari rumahku tapi aku enggan berlama-lama di sana, tak tahu kenapa.
Sampailah di tempat tak terprediksikan ini, segera ku parkir motor di samping gerbang. Ku buka gerbang reyot warna hijau yang sudah lumutan dan berkarat di sana-sini. Kreeeeettt!!! gerbang berderit saat kupaksa untuk terbuka, bubuk karat terkelupas dan berhamburan ke tanah. Sampai di depan pintu klinik, ku keluarkan kunci pintu yang sedari tadi tergolek lemas di saku bajuku. Klekk.klekk!! butuh beberapa tehnik dan kesabaran agar pintu bisa terbuka karena kunci itu sudah sedikit bengkok dan gerigi-gerigi kuncinya juga sudah rata termakan usia. Seusai berkutat dengan gerbang dan kunci yang seharusnya sudah pensiun, ku langkahkan kaki memasukki ruangan lembap, bercat hijau cerah kontras sekali dengan kursi warna coklat tua yang terserak di sudut ruangan. Kau tahu Kawan, apa yang akan kau hirup saat pertama kali masuk adalah campuran bau pekat alkohol dan bau tengik busa pelapis kursi yang basah mengembun.
Akhirnya duduklah aku di kursi kehormatan para juru tunggu, kursi warna merah tua khas kursi direktur yang bisa diputar. Tapi jika kau memutar terlalu girang kau akan terlempar karena baut-baut kursi sudah tak kuat mencengkeram. Di kursi itulah aku akan menerima tamu ; orang-orang berpenyakit, orang-orang tua dan anak-anak kecil yang sakit diare. Kursi seorang juru tunggu amatir. Ku harap tak banyak pasien yang datang, Kenapa? Begini Kawan, aku sering sekali mendapat penyakit bulanan, ku sebut bulanan karena hampir tiap bulan penyakit itu menguasai tubuhku. Sariawan. Jangan kau anggap remeh penyakit kecil yang melubangi bibirmu ini. Sekali dia melekat, yang semula kecil sebesar lubang jarum kian hari tambah besar hingga sebesar lubang kunci. Perih sekali. Paling tidak aku harus mengurangi bicara karena sedikit saja gesekan mengenai bibir, rasa perih itu seakan menjilati ubun-ubun hingga ke ulu hati. Pekerjaan yang semula mudah sekarang dua kali lipat lebih sulit gara-gara penyakit kecil itu.
Lima belas menit sudah aku bertengger di kursi tanpa baut ini. Sesekali melesat dalam pikirku agar hari ini tak ada pasien, aku tak mau senyum lebarku jadi nyengir tak karuan karena menahan sakit. Tapi dugaanku meleset, seperti anak panah yang dilesatkan justru berbelok mengenai busurnya. Dua pasien yang sepertinya aku kenal berjalan melewati gerbang. Sepasang suami istri tua ini ku lihat hampir dua minggu sekali datang, mereka kesini seperti ke jamban saja. Kali ini sang istri yang sakit. Seorang wanita tua dengan baju beludru bercorak bunga sepatu, berarti dapat dipastikan dua minggu lagi giliran suaminya. Kudengar kali ini penyakitnya tidak terlalu parah hanya sakit punggung karena terlalu lama berada di kursi goyang. Ku persilakan mereka duduk, lalu ku tanyai mereka dari nama, umur dan terakhir kali mereka memeriksakan diri. Ku catat rapi pada buku status pasien untuk kemudian dianalisa dokter agar tidak salah memberi takaran obat.
Kursi berderit lagi saat tidak sengaja aku menggesernya. Sejurus kemudian ku langkahkan kaki meninggalkan ruang tunggu dan masuk ke ruang periksa. Ku berikan buku status pada dokter dan keluar lagi untuk mempersilakan mereka masuk. Kembali bersandar pada kursi reyot berkutat dengan pekerjaan lain; memilah status pasien berdasarkan namanya. Sudah lima belas menit berlalu, pintu ruang pasien terbuka. Mereka keluar dengan membawa sekantong plastic obat. Satu strip obat tidur, satu strip lagi penghilang rasa nyeri dan sisanya resep. Aku sudah berkali kali bertukar posisi dengan ibuku, yah sedikit-sedikit tahu tentang obat.
Matahari sudah malu untuk timbul lagi, dominasi sinar bulan dan kilatan lampu kendaraan menerawang sepanjang jalan. Hanya terdengar deru mesin meraung raung di depan klinik, sesekali ku lihat pejalan kaki melintasi pinggiran jalan. Pasien berikutnya belum nampak terlihat. Masih menggigit-gigit bibirku yang meradang, ku tarik majalah dengan sampul yang hampir copot dari rak buku, tak terlalu kuat tapi sekarang sampul itu jatuh terkoyak. Belum juga ku baca setengah halaman kudengar pintu klinik di ketuk lagi. Dua orang datang. Aku kenal baunya. Whisky. Satu orang berbadan tegap tidak terlalu tinggi kulitnya hitam berkalung emas mengkilat-kilat mencolok sekali. Satu lagi tinggi kurus berbaju loreng-loreng mirip kue lapis terpaksa dipapah untuk masuk ke dalam. Yang berbadan tegap seolah menjadi bodyguardnya si baju loreng-loreng. Raut muka mereka mengisyaratkan kecemasan. Wajah keduanya sama pucat, walau yang sakit sebenarnya si baju loreng. Saat ku ‘interogasi’ keduanya diam seakan memang sudah direncanakan agar tak bicara kepada selain dokter. Aku gusar kalo sudah berhadapan dengan pasien model ini. Tak banyak cingcong kusuruh mereka langsung masuk ruang periksa.
Aku curiga, sengaja ku dekatkan telinga ke lubang pintu agar mendengar percakapan mereka. Di dalam tak terlalu banyak pembicaraan antara pasien dan dokter. Si baju loreng kadang muntah-muntah, menebarkan bau tak sedap hingga ruang tunggu. Ada apa dengan mereka, atau jangan-jangan mereka .….overdosis. Ciri-ciri fisiknya jelas mengatakan begitu. Aku sudah hafal dengan kejadian semacam ini. Terlampau sering ku lihat para calon preman yang OD karena sok kuat menenggak banyak-banyak miras agar mereka terlihat garang. Paling hanya di beri resep, satu dua tablet vitamin hingga rasa pusing itu agak mereda. Tapi aku masih belum tahu kenapa mereka tak menjawab ketika ku tanyai. Apa hal semacam ini mereka anggap memalukan?menjijikan? atau keduannya sehingga enggan untuk didengar orang lain. Mungkin. Penyelidikanku berakhir disitu, saat aku menyimpulkan bahwa mereka adalah dua orang begundal jalanan, yang takut kalau begundal lain tahu kalau mereka sakit gara-gara overdosis. Bukankah itu hal yang menggelikan?
Dua laki-laki teler meninggalkan bau whisky. Baunya masih kentara, berputar-putar dan menggumpal di langit-langit. Ku kibaskan buku untuk mengurangi atmosfer bau tak sedap itu, tapi justru semakin menggembang dan menguasai ruangan. Sudah dua pasien tercatat sejauh ini, walau yang terakhir tadi tak tahu dari mana rimbanya.
Bibirku makin kering, merekah, membentuk relief pecah-pecah dan perih. Sudah habis akal mengatasinya. Aku hanya diam, jari-jariku meremas kertas majalah lapuk yang baru separuh kubaca. Berusaha melampiaskan rasa sakit gara-gara sariawan.
Aku melongok melewati jalanan, membayangkan jika hari ini bisa melarikan diri dari kesibukan dan membaur dengan para pejalan kaki menelusuri malam. Lampu-lampu masih benderang, kilatan lampu motor makin rapat berkelap-kelip menggodaku. Aku masih terperangkan di sini. Terlilit tanggungjawab sebagai juru tunggu amatir. Membosankan dengan hal-hal yang monoton. Ku tekan tuts-tuts HP sekedar bersimpati dengan teman-teman yang sedang menikmati indahnya malam minggu. Atau hanya sekedar pelampiasan saja karena terlalu bosan.
Ditengah keasyikanku memijit tombol-tombol HP, pasien datang lagi. Kali ini tak mengetuk pintu klinik, langsung saja masuk dan berdiri di depanku. Wanita paruh baya berbaju setengah jadi, rambutnya terlihat kusut kering di sisir miring dan dijepit, perhiasanya lengkap; di tangan, leher, jari. Tampak seperti juragan sayuran hendak pergi kondangan. Baju setengah jadi itu membuat tubuhnya meliuk-liuk saat dia berjalan. Lemak-lemaknya memadat terjerat di dalam bajunya. Terasa begitu menyiksa dirinya sendiri.
Dia mengatakan kalau kolesterolnya kambuh. Padahal akhir-akhir ini dia jarang ke club lagi. Club? Wanita setengah abad ini masih merasa dirinya berpuluh tahun lebih muda, masih enerjik untuk bisa menarik simpati lelaki. Tapi aku rasa minggu ini mungkin dia bersama teman-teman clubnya benar-benar tidak pergi ke club lagi melainkan pesta BBQ di rumah salah satu anggotanya. Menghabiskan setiap malam berkubang dengan acara meriah yang melibatkan makanan. Indikasinya terlihat dari gumpalan lemak yang jelas terlihat walaupun dia tutupi. Mendesak-desak bajunya seolah ingin keluar.
Strip tes kolesterol sudah ku siapkan sejak dia masuk ruang periksa. Sebentar lagi juga dokter pasti menyuruhku untuk menyiapkan strip itu. Benar, tak lama aku masuk dan memberikan chip kecil ini pada dokter. Cara kerjanya gampang, tinggal masukkan strip kolesterol yang berupa chip kecil berlapis tembaga ke testernya. Lalu teteskan sedikit darah pasien dan tunggu beberapa menit sampai angka di tester menunjukkan seberapa tinggi tingkat kolesterol yang diderita pasien. Dokter tinggal memberi resep sesuai tinggi rendahnya tingkat kolesterol si pasien. Selesai.
Wanita club itu mengambur keluar melewatiku sambil tersenyum nakal. Perhiasannya berkilauan ditimpa cahaya lampu, semakin redup saat dia mulai menjauh. Aku masih berpikir dengan gadis..ups…wanita club tadi. Seumur mereka harusnya tinggal menunggu hari-hari tua yang terasa lambat sekali, hingga mereka lupa apa yang sudah mereka lakukan. Bukan malah pergi ke club berjoget-joget diantara gadis-gadis belia. Bersaing menarik simpati para pengusaha yang mabuk harta. Atau frustasi karena mereka tidak diperdulikan lagi sebab anak-anak mereka sudah besar. Dan mereka ingin menunjukkan eksistensi di depan anak-anak mereka sendiri dengan bertindak di luar batas kewajaran. Oh! Jaman memang sudah berubah. Ku putuskan untuk tidak memikirkanya lagi.
Di ruangan ini, segala bentuk manusia bisa kau temukan Kawan. Memang tak terprediksikan siapa yang datang dan bagaimana mereka. Hanya bisa menebak-nebak hingga kau dapat simpulkan sendiri alasanmu mengapa mereka seperti itu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar