Rabu, 24 Februari 2010

Hari Terakhir (Cerpen)

ditulis oleh zul dalam : narasi

Setengah berjingkat aku mengintip lubang kunci kamar Ibu. Ia bersandar pada kursi kayu renta yang bantalannya sudah banyak terkelupas. Ibu memandang sebuah foto. Aku masih mengintai dari balik pintu kamarnya. Pelan-pelan mencoba memperjelas pandanganku kearah Ibu. Ibu terlihat sudah tua, garis-garis keriput itu menjadi saksi perjuangan hidupnya selama ini. Sesekali Ibu mengusap embun di matanya. Ibu menangis. Aku tak tahu sebabnya. Kali ini Ibu mengusap wajah di foto itu. Aku masih ingat, belaian lembut Ibu yang begitu tulus dan penuh kasih. Saat aku berdiri di hadapannya. Meminta maaf karena kebandelanku di sekolah yang mengharuskan Ibu bertemu dengan kepala sekolah. Lembut sekali. Ibu mendekap sosok yang ada dalam bingkai itu. Siapa dia? Aku mencoba mengingat wajah dalam foto itu. Bayangan berkelebat di pikiranku. Apa mungkin dia…Bapak.
Sesuatu membuatku mengingat masa lalu. Air mata dan belaian lembut Ibu memang hanya untuk dua orang yang benar-benar ia cintai. Aku dan Bapak. Sungguh Ibu kali ini terlihat sangat sedih. Memang aku pun merasakan hal yang sama. Bapak telah dipanggil Yang Maha Kuasa satu tahun yang lalu. Mungkin kali ini, ada momen-momen yang memaksa Ibu mengingat sosok Bapak (suaminya). Aku tak tahu pasti. Ku sudahi ‘pengintaian’ di kamar Ibu. Sebenarnya aku ingin membicarakan sesuatu pada ibu. Tapi sudah, biarkanlah Ibu menikmati kenangannya dengan Bapak. Aku tak tega mengusik ketenangan Ibu. Mungkin…besok pagi akan ku bicarakan ini pada Ibu.
***
Tak sesuai dugaan. Aku ragu menyampaikan ini pada Ibu. Sengaja hari ini aku bangun lebih pagi, setelah semua pekerjaan rumah selesai, bergegas aku menuju kamar Ibu. Tergesa kuletakkan surat yang sudah kusiapkan tadi pagi di atas bantal Ibu. Sejenak ragu apakan cara ini benar ?. Segera ku tepis rasa bimbangku. Sudahlah…
“Aji!”
“Iya,Bu ?”
“Kamu tidak sarapan dulu ?”
“Ndak Bu. Nanti sajalah di sekolah. Banyak tugas pagi ini Bu”
“Ya sudah terserah kamu !”
Dengan cepat kurapatkan pipiku di pipi Ibu. Aku berangkat. Tak lupa salam baru kuucapkan setelah melangkah keluar rumah. Aku terpaksa melakukan itu. Tak ingin membuat kepala Ibu pusing pagi ini. Paling tidak, ia akan membukanya malam hari, ketika ia hendak tidur dan semua pekerjaan telah selesai ia kerjakan. Maaf,Bu…
***
Aku pulang sore hari setelah matahari beranjak pergi ke peraduannya.
“Le, Ibu ingin bicara sama kamu ?”
“Aduh Bu, hari ini aku capek sekali. Apa tidak besok saja Bu ?” Aku berkilah.
“Sebentar!”
Kurebahkan badanku pada kursi kayu buatan Bapak. Aku tidak mengira Ibu telah membaca surat itu. Ibu menyodorkan suratku tepat di hadapanku. Aku sedikit takut.
“Kenapa kamu ndak bilang sama Ibu, Le ?”
“Aa..aku takut Ibu marah padaku.”
“Justru kalau caramu seperti ini, Ibu malah marah !” Nada suara Ibu meninggi.
“Maafkan aku Bu ?” Aku mencoba menyadari kesalahanku.
“Kenapa kamu ndak ngomong langsung sama Ibu. Meski kita keluarga yang kurang mampu. Kamu tetap harus sekolah. Apalagi cuma gara-gara SPP yang belum kamu lunasi. Ibu kan bisa pinjem tetangga. Ibu harus menjaga amanat Bapak le, untuk meluluskanmu sampai SMA.”
“Iya, aku tahu Bu. Surat ini memang sudah dua bulan yang lalu. Tapi aku belum siap mengatakannya. Aku tak tega melihat Ibu terus banting tulang mencukupi kebutuhan kita.”
“Lebih baik kita hidup berkecukupan, tapi kaya ilmu. Daripada hidup kaya tapi miskin ilmu. Kata almarhum Bapakmu, ilmu merupakan harta terbesar yang di miliki orang-orang seperti kita ini Le.”
Kata Ibu memang benar. Aku tak tahu kata sebijak itu ia dapatkan darimana. Ia hanya lulusan SD yang sejak kecil sudah berkutat pada kemiskinan. Mungkin Bapak telah membuatnya seperti ini. Lebih bijaksana menghadapi segala sesuatu.
Ternyata kemarahan Ibu hanya sesaat. Aku mengakhiri perdebatan itu dengan pelukan sayang. Kehangatan ini yang begitu kurindukan. Pertalian kasih antara ibu dan anak yang mengalami fase klimaks. Aku sayang padamu, Ibu…
***
Pagi ini, dapur tidak mengeluarkan asap pekatnya. Kompor kayu tidak berkobar menjilat-jilat panci sayur Ibu. Seakan semua diam. Bunyi gemericik air kran juga tidak terdengar. Hari ini Ibu sakit. Badannya panas tinggi, matanya berair dan terlihat sangat pucat. Hari itu juga aku tidak berangkat sekolah. Siapa lagi ? yang tersisa hanya Ibu dan aku di rumah ini. Jika aku sakit, Ibu juga merawatku. Kini giliranku mengganti posisinya.
Kubalut tubuh Ibu dengan sarung seadanya, karena hanya itu yang kami punya. Ibu sudah minum obat. Obat warung tanpa merek yang dapat kami beli. Aku harap Ibu segera sembuh. Tiba-tiba Ibu beranjak bangun dari tidur, tangannya bergetar saat bersinggungan dengan tanganku.
“Ibu, ada apa ?”
“Ibu ingin kerja lagi, Le ?”
“Tidak, Ibu harus istirahat !”
“Lalu bagaimana dengan hidup kita. Apa kamu mau makan dengan piring dan sendok saja ? Ibu sudah sehat.”
Ibu sama sekali berbohong, ciri-ciri fisiknya tidak menunjukkan kalau dia sehat. Aku tak mau sesuatu terjadi dengan satu-satunya orang yang kucintai.
“Pokoknya tidak boleh, Ibu orang terakhir yang paling aku sayangi!”
“Sudahlah, kalo buat kerja pasti juga sembuh, Le.”
Ibu menolak untuk tetap beristirahat. Dia memaksaku untuk mengikuti keinginannya. Tapi tak kubiarkan begitu saja. Segera kupeluk tubuh mungilnya untuk sedikit meredam amarah. Aku dan Ibu terhanyut dalam suasana. Kulihat air matanya meleleh membasahi wajah pucatnya. Oh, Ibu…
***
Hari ini, ibu sudah semakin baik kelihatannya. Ia pagi-pagi sudah pergi ke rumah Bu Sugeng. Ibu memang seorang buruh cuci panggilan. Karena sakit, pekerjaan yang harusnya sudah selesai sempat tertunda
Di meja, tempat biasa aku menyantap sarapan, tergeletak benda terbungkus plastik. Rapi sekali Ibu melipatnya. Aku coba menerka, mungkinkah ini disiapkan untukku ? Kubuka perlahan. Uang. Ini memang disiapkan untukku, di sana terdapat tulisan Ibu yang tidak terlalu jelas tapi aku bisa mengerti. Uang untuk membayar semua tunggakan sekolah. Aku senang sekali. Walaupun aku tak tahu darimana asal uang itu. Terima kasih…
***
Aku berjalan pulang. Memasuki gang di kampungku. Tak seperti biasanya, banyak orang berkelebat. Dari arahnya kuduga menuju rumah Bu Sugeng. Ada apa ? Apa ada pembagian raskin lagi ? Atau arisan ibu-ibu ? Tapi kulihat mulai dari anak kecil, sampai orang tua berjalan beriringan menuju rumah Bu Sugeng. Aku ingin tahu.
“Pak, kenapa hujan selalu turun ?” Bapak mengernyitkan dahi, berpikir keras.
“Mungkin karena langit sedih, melihat bumi kita kepanasan.” Aku tak memerdulikan jawaban itu, bagiku hujan di luar lebih menarik.
“Lalu, kenapa ada pelangi setelah hujan ?” Bapak kembali mengernyitkan dahi, kali ini sambil mengelus jenggot tipisnya. Belum sempat jawaban itu terdengar suara Ibu dari dalam rumah.
“Ayo, pisang goreng anget, siapa yang mau ?”
“Akkuuu!!” Serentak aku dan bapak meninggalkan rintik-rintik hujan.
Kulihat Ibu dan Bapak begitu saling menyayangi. Wajah mereka berbinar, senyum manis menyembul dari keduannya. Suasana rumah begitu hangat. Aku duduk di pangkuan Bapak, sedang Ibu menyuapiku dengan pisang goreng buatannya. Manis sekali.
Aku tersentak dari lamunan panjang. Semakin dekat dengan rumah Bu Sugeng. Kuusap peluh di mataku. Aku tak kuasa membiarkan lamunan itu menyelimuti hatiku. Sepertinya baru kemarin Bapak menghadiahkan kapal-kapalan minyak padaku. Tapi aku sadar, bahwa manusia tak bisa hidup selamanya maka gunakan hidupmu untuk bekal matimu, kalimat itu kukutip dari perkataan guru agama kemarin.
Terlihat perempuan berlari-lari keluar dari rumah Bu Sugeng. Tak terlihat jelas, diantara kerumunan banyak orang. Semakin mendekatiku aku semakin mengenal wajahnya. Itu Bu Sugeng…kenapa dia berlari ? Menghampiriku ? Secepat kilat wanita paruh baya itu sampai di depanku. Belum sempat bertanya, tanganku sudah ia rebut, kencang sekali, seperti ada sesuatu yang ingin ia tunjukkan secepatnya padaku.
Bayangan Bapak kembali datang.
“Le, kamu mau nemenin Bapak ke sawah nggak ?”
“Mau dong Pak!”
“Ya sudah, bawa capingmu, Bapak tunggu di depan.”
“Ya, Pak!” Ucapku penuh semangat, aku berlari keluar membawa sebuah caping kecil buatan tangan Bapak.
“Ayo Pak!” Tangan kecilku meraih genggamannya.
Kami berjalan di pematang sawah. Bapak menggendhongku di punggungnya. Kami bercerita banyak hal. Bapak mengenalkan hal-hal baru padaku. Dan menyanyikan tembang jawa dengan suara khas Bapakku. Aku tersenyum.
“Astagfirrullah! Apa yang terjadi. Bayangan itu terus muncul. Aku ikhlas atas semua yang kau berikan Ya Allah.”
Bu Sugeng mengantarkanku masuk kedalam rumah. Membelah-belah jalan, menyusup melewati kumpulan manusia yang memenuhi ruangan. Samar terdengar orang-orang menyebut nama seseorang. Bu Asih…Bu Asih..Bu Asih. Aku tetap diam.
Setiba di ruang tengah Bu Sugeng melepaskan tanganku. Aku lunglai. Mataku terpaku melihat sesosok tubuh wanita yang diam di antara keramaian ini. Kerutan yang menceritakan perjuangan hidupnya nampak jelas. Rambut putihnya terurai ke lantai. Namun kenapa mata indah yang selalu memberiku inspirasi hidup…kini tak terbuka lagi. Apakah dia…? Tidak, Ibu hanya tidur pulas setelah lelah bekerja. Aku belum siap membiarkan dia sendirian di ruang sunyi. Gelap. Sempit. Bahkan aku belum sempat mengucapkan terima kasih atas kejadian tadi pagi.
***
Langit begitu redup, burung-burung seakan terbungkam. Awan kecil berarak mengintari matahari. Terlihat satu orang yang belum meninggalkan tempat pemakaman. Mengelus sebilah kayu berukir nama yang di pahat rapi. Ia duduk,tubuhnya bersandar pada gundukan tanah merah yang basah. Aroma bunga semerbak tercium dimana-mana. Mencoba memutar memori masa lalu tapi yang ada hanya isak tangis pelan. Semua terhanyut dalam keharuan…
***

“Lebih baik kita hidup berkecukupan, tapi kaya ilmu. Daripada hidup kaya tapi miskin ilmu. Kata almarhum Bapakmu, ilmu merupakan harta terbesar yang di miliki orang-orang seperti kita ini Le.”
Kata-kata itu terus terpatri di pikiranku. Mungkin wejangan terakhir yang diucapkan Ibu. Sungguh sangat membuatku bangun dari keterpurukan.
Bu Sugeng memberiku pekerjaan menjaga toko kelontongnya di sore hari karena dia tahu aku yatim piatu sekarang. Sekarang aku masih punya banyak waktu untuk sekolah. Ya, sekolah, melanjutkan cita-citaku, agar perjuangan Ibu tidak sia-sia karena telah berjuang keras mengatarkanku ke bangku SMA.
Akhirnya aku lulus sekolah dengan nilai terbaik sehingga beberapa Universitas menawariku untuk belajar di sana. Alhamdulillah. Aku berhasil membanggakan keluargaku.
Lamunan itu kembali lagi, menggenangi pikiranku.
“Pak, Bu, mau kemana ?”
“Bapak sama Ibu mau ke pasar dulu. Kamu jaga rumah. Ibu tadi masak nasi tapi belum mateng, Le. Ibu titip ya ?”
“Nggih Bu, tak siapkan sarapan yang paling enak buat Ibu sama Bapak !”
“Assalamualaikum”
“Wa’alaikumsalam”
Anak kecil melambaikan tangan. Memberi salam terakhir untuk ayah ibunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar